Semalam, ibu cerita tentang seorang tetangga yang akan cerai.
Anak tetangga itu, salah satu siswa di sekolahku. Alasannya, si istri yang
selalu pulang tengah malam. Ia bekerja sebagai PL / PK (Pemandu Lagu / Karaoke).
Sedang suaminya, bapak siswaku itu, buruh bangunan. Anak mereka, dipindahkan
dari sekolah sebelumnya. Gurunya sering marah padanya, bahkan pernah melempar
penghapus ke wajahnya – katanya. Di sekolahku, tidak ada guru yang suka marah.
Bahkan, perkataan jangan buang sampah
sembarangan / jangan masuk kantor, atau
segala kata negatif aku ganti – dan sampaikan pada para guru – dengan kata-kata
positif : buang sampah di tempatnya ya, kamu anak baik, dsb.
Waktu anak mereka pindah ke sekolahku, sempat aku berpikir,
mungkin doa itu terkabul – diberinya jalan untuk mendekati mereka, karena bisa
jadi anak itu yang akan menjadi jalanku untuk memperbaiki watak orangtuanya :
yang satu keras, satunya lagi agak malas.
Dua orangtua itu agak terasingkan di masyarakat. Pertama jelas, karena profesi
istri. Kedua, mereka kurang membaur dengan organisasi-organisasi tradisional
masyarakat : pengajian, dll. Jika ada yang paling dirugikan ketika suami istri
bertengkar, maka itu pasti anak-anak. Anak mereka dua, satu SMA – perempuan,
satu lagi yang sekolah di sekolahku itu. Tentu, aku tak menganggap profesi
istri tetangga itu adalah pekerjaan yang buruk, dosa. Siapa di antara kita yang
tak pernah berbuat keburukan atau dosa? Seorang paman bilang, tetanggaku itu nggak bener, karena bekerja jadi PK. Aku
kira, manusia tak punya alat ukur untuk
menentukan mana yang benar dan mana yang salah. Tuhan yang satu-satunya
memiliki itu, dan sekaligus berkuasa untuk mengungkapkan kebenaran atau
kesalahan sesuatu. Manusia hanya paham, bahwa tak ada kesalahan yang selalu
berdiri sendiri. Ada pertimbangan yang begitu banyak – seringkali, ketika
seseorang melakukan kesalahan yang bahkan berulang-ulang. Kita hanya tahu,
bahwa keburukan atau kebaikan yang kita lakukan, akan terlempar kembali pada yang melakukannya. Ia yang menanam, maka
ia-lah yang akan memanen : keburukan/kebaikan.
Aku tak berani menjamin, jika pun istri tetanggaku itu berhenti dari
pekerjaannya, suaminya mampu memberikan modal atau pengganti pekerjaan yang
sebanding dengan itu. Persoalannya, sangat mungkin orang yang sudah begitu
nikmat dalam suatu pekerjaan high class, tak
mau keluar dan memulai dari pekerjaan kasar
atau rendahan lagi. Kecuali, ia
istri yang berilmu, berpendidikan, dan punya akhlak. Kata terakhir itu –
akhlak, aku sudah agak ragu itu masih teranggap penting untuk para muslim masa
kini.
Terkadang aku berpikir, sebenarnya, akan kemana Tuhan
menghembuskan takdirku? Ada masalah ini, ada masalah itu, seringkali aku tak
tahu itu adalah masalahku juga. Tapi, kenyataan terkadang berkata sebaliknya.
Persoalan hidup yang sebenarnya bukan kapasitasku, datang meminta diselesaikan. Semalam aku merenung, apakah ini termasuk permasalahanku? Tentang berkeluarga, meskipun
aku memiliki pemahaman, rasanya tak akan mudah untuk masuk ke sana – karena aku
sendiri belum berkeluarga. Memang, seringkali aku tak memilih jalan yang mudah
untuk hidup ini. Atau, kehidupan tak selalu memberikan jalan yang mudah untuk
ku langkahi. Mungkin itu bukan masalah, tapi harus sematang apa aku ini untuk terbiasa dengan persoalan orang dewasa?
Esok paginya, kakak ke-6 cerita, tentang komentar seorang
guru sekolahku, tentang seorang guru yang tak berangkat satu bulan lebih.
Prasangka buruk pun beredar. Aku katakan, sekolah
itu bukan hanya tempat belajar para siswa. Tetapi juga untuk para guru. Bukan
hanya untuk menambah ilmu, tapi juga menata hati – itu yang barangkali lebih
penting. Kita tak tahu apa-apa tentang kehidupan orang lain. Yang kita tahu
adalah pengetahuan tentang diri kita sendiri. Dia marah, dia mengambek, apakah
benar? Belum tentu. Tapi yang pasti, ketidakbenaran prasangka kita membuat kita
menjadi buruk – karena telah berprasangka buruk.
Terlalu banyak, orang-orang yang gagal membedakan, mana
warna matang dan mana warna pucat. Warna matang, diakibatkan oleh
waktu, zaman, beratnya hidup yang terlewati bersama waktu, terperasnya perasaan
dan pikiran menghadapi takdir sendiri. Buah yang matang tak harus berwarna
mencolok. Meski nampak masih hijau – muda, sangat banyak buah-buahan yang
matang dalam bentuk itu. Sebaliknya, warna pucat diakibatkan oleh
keterburu-buruan. Keinginan yang menguasai pikiran, hati, lalu mencoba melawan
kenyataan, yang pada akhirnya kelelahan, dan memilih untuk mengakhiri dengan
segera. Kehidupan ini memang permainan, harus dimainkan dengan baik, agar kita
tak dipermainkan – keinginan. Jasad manusia akan hancur. Ruh, jiwa, itulah yang
akan kekal dan menjalani kehidupan selanjutnya berbekal kebaikan.
Memperjuangkan sesuatu yang pasti hancur, adalah perjuangan kebodohan. Karena
meski jasad kita terpuaskan, suatu saat pasti akan binasa juga. Beruntunglah
bagi mereka yang tersadar, memberikan kebutuhan jasad seperlunya, lalu menabung
bekal untuk jiwa kelak. Dan merugi-lah untuk mereka, yang memperjuangkan dengan
gigih apa yang jasad inginkan. Kematian memang terkadang teremehkan – itu
terasa jauh, tapi tak ada satu makhluk pun yang mampu lepas darinya.
Jumat, 19 September 2014
Komentar
Posting Komentar