Jika kau memberikan sesuatu yang berharga pada orang lain,
sebenarnya kau tak kehilangannya. Kau hanya membagi itu pada orang lain – orang
yang dapat terambil janji setianya padamu.
Ada siswa yang namanya Afri – panggilannya. Umurnya 10 tahun
jalan, dan orangtuanya juga mengakui, bahwa dia – maaf – lemah otak (saya marah
kalau ada orang bilang dia idiot). Saya marah, karena dulu saya juga begitu –
idiot. Saya pernah satu kali tak naik kelas, sedang enam kakak saya adalah
anak-anak pintar. Ayahnya berjualan es keliling. Selain kekurangan dalam hal
finansial (ekonomi), saya yakin ayah dan ibu Afri bukan orang yang paham
tentang pendidikan, atau, masa depan anak. Seperti orangtua desa pada umumnya –
termasuk ibu dan bapak saya dulu, mereka khawatir di masa depan anak mereka
akan jadi apa. Tapi mereka tak kuasa dengan apa yang harus dilakukan untuk
anak-anaknya. Mengapa? Rumitnya hidup
menjadi orangtua yang tak begitu berkecukupan. Ada yang bilang, yang paling
penting pertama adalah makan. Kedua, pendidikan. Jangan bicara tentang
pendidikan, jika perut kelaparan. Itu, yang ku maksud, orang-orang desa tak punya waktu memikirkan pendidikan
anaknya.
Jika pun siswa saya ini belajar dengan normal –
kemungkinannya sangat amat kecil sekali, dia akan lulus dalam usia 16 tahun. Jika
ditambah dengan waktu SMP dan SMA, dan dia lulus dengan waktu normal (sekali
lagi, kemungkinannya sangat amat kecil sekali), dia lulus SMA dalam usia 22
tahun. Tapi, coba pembaca bayangkan, jika seorang guru tak menyelamatkannya,
sedang masih ada kemungkinan dia bisa normal. Apa yang akan terjadi 10-20 tahun
nanti? Dia akan teranggap sebagai orang gila. Beban orangtua, keluarga,
maysrakat. Dan siapa yang harus disalahkan pertama jika itu terjadi? Guru dan
orang-orang yang paham pendidikan, namun tak peduli. Satire.
Mulai minggu ini, saya habiskan waktu tiga hari – Senin sampai
Rabu, untuk belajar dengannya setelah pulang. Bagaimana caranya, saya sungguh
merasa ini tantangan luar biasa. Di satu sisi, saya harus memikirkan kemajuan
sekolah, sarana-prasarana, fasilitas, pembinaan guru, masyarakat, honor guru,
finansial sekolah, dan segala kerumitan sekolah itu. Dan di satu sisi lainnya,
saya juga harus menemani anak-anak saya yang, hanya saya yang mampu
menemaninya. Mengapa? Kondisi otak, perkembangan jiwa, dan keadaan finansial
keluarga siswa, hanya saya yang mau concern
memikirkan itu sekaligus. Saya juga harus menyiapkan pembelajaran SMK –
saya mengajar di sana juga, dan lebih penting, sebenarnya saya tak boleh
mengeluhkan semua itu.
Satu orangtua siswa main ke sekolah. Beliau dari keluarga
mampu, mau memberi subsidi silang bulan September ini. Mulai bulan ini, sekolah
memberlakukan subsidi silang untuk siswa dari keluarga mampu (90% siswa kami dari
keluarga kurang mampu). Berapa besaran rupiahnya? Tak kami patok. Ada yang
memberi 10 ribu/bulan, ada juga yang 20 ribu, juga ada yang 50 ribu. Jika suatu
saat yang memberi 50 ribu sedang tak ada uang, pun kami tak menagih. Semua dijalankan
atas kerelaan, dan kesadaran diri.
Orangtua tersebut selain memberi donasi untuk bulan ini –
subsidi silang, juga menceritakan satu siswa kami lagi. Namanya Putra, ibunya,
dulu, bekerja mengemis di terminal. Beliau
bercerita, kalau ada iuran-iuran buat Putra, tolong sampaikan padanya atau pada
tetangga lain. Ibu (kandung) Putra sudah jarang di rumah, bekerja serabutan di
desa tetangga, pulang hanya satu bulan sekali. Putra ini siswa saya yang
berani, keren, dia belajar semangat, meski ibunya tak tahu siapa ayah dia.
Entah saya harus tersenyum haru atau mengangis sedih. Terdengar seperti fiksi
memang cerita saya ini.
Saat beliau – orangtua siswa yang main ke sekolah –
bercerita, matanya berkaca-kaca. Saya tahu, dia mencoba menahan tangis
dihadapan saya. Dan sebenarnya saya lebih tak tega lagi, selain melihat
perempuan menangis, juga tentang cerita tragis kehidupan tetangganya. Saya ceritakan
siswa lain yang orangtuanya memulung, dua siswa. Saya katakan, untuk anak-anak
yang memang kurang mampu, untuk itulah subsidi silang diadakan. Bukan untuk
guru uang itu terkumpulkan – meskipun honor terbesar
kami adalah 350 ribu/bulan (saya, headmaster), tapi untuk kebutuhan siswa. Jika
siswa butuh buku, pensil, pulpen, atau peralatan belajar lainnya, tak perlu
mereka beli. Tak perlu mereka merengek meminta pada orangtua mereka yang memang
bukan tak mau membelikan, tapi tak bisa. Ini rencana besar, bahwa kelas 1-3,
mereka akan belajar santai, bermain, menyenangkan. Tapi di kelas 4-6, akan ada doktrin dari saya yang akan membuat
kesadaran hidup mereka terbangun, bahkan di saat umur mereka belum mengerti
apa-apa. Suatu saat mereka menyebar di masyarakat, seperti benih padi, saya
selalu berdoa mereka menjadi manusia-manusia bermanfaat yang tak pernah
terlahir sebelumnya di desa, kota, atau bangsa ini. Bukan kekayaan yang membuat
manusia ternilai mulia, tapi seberapa ia kuat bertahan hidup, merendahkan hati,
bahkan pada mereka yang dulu menghina, merendahkannya.
Lama aku merenungkan, bahwa hidupku saat ini, Tuhan tidaklah
penting lagi. Karena yang terpenting adalah mereka, orang-orang yang oleh-Nya
didekatkan padaku. Diambilnya janji setiaku pada-Nya, bahwa apapun yang akan
terjadi aku tak akan meninggalkan mereka – kecuali mati. Suatu saat aku bertemu dengan-Nya disana, lalu jika memang aku diberikan balasan yang indah, aku akan
biasa saja. Tidak merasa senang, tidak juga merasa sedih. Kosong.
Apa ini?
Balasan setimpal
untukmu, hal jazza ul ihsanu illal ihsan
Oh, terima kasih
Kau tak senang?
Senang, tapi aku lebih senang jika ini ternikmati oleh semua
manusia
Selasa, 23 September 2014
Komentar
Posting Komentar